IQNA

‘Kesejahteraan sebagai Imbalan Normalisasi’, Proyek yang Gagal Total di Suriah

15:03 - December 01, 2021
Berita ID: 3476087
TEHERAN (IQNA) - Stasiun televisi al-Mayadeen dalam reportasenya membahas budaya nasionalisme dan anti-Zionisme rakyat Suriah. Reportase ini menyebutkan, kendati rakyat Suriah dihimpit krisis ekonomi dan normalisasi dengan Rezim Zionis dipropagandakan sebagai jalan menuju kesejahteraan, namun bangsa Suriah tetap menolak berkompromi dengan Tel Aviv, apa pun sikap mereka terhadap Pemerintah Damaskus.

TEHERAN (IQNA) - Stasiun televisi al-Mayadeen dalam reportasenya membahas budaya nasionalisme dan anti-Zionisme rakyat Suriah. Reportase ini menyebutkan, kendati rakyat Suriah dihimpit krisis ekonomi dan normalisasi dengan Rezim Zionis dipropagandakan sebagai jalan menuju kesejahteraan, namun bangsa Suriah tetap menolak berkompromi dengan Tel Aviv, apa pun sikap mereka terhadap Pemerintah Damaskus.

IQNA melaporkan seperti dilansir liputanislam.com, “Ketika Turki di dekade awal abad ini berupaya melakukan perundingan tidak langsung antara Damaskus dan Tel Aviv, seorang jurnalis ternama Suriah menulis bahwa bangsanya menentang penandatanganan kesepakatan normalisasi dengan Israel. Menurutnya, orang-orang Zionis di Tanah Pendudukan juga menolak ‘perdamaian’ dengan negara-negara Arab,”tulis al-Mayadeen.

Menurut al-Mayadeen, kendati rakyat Suriah berselisih dengan Pemerintah Pusat, namun mereka bukan hanya menentang normalisasi dengan Israel, tapi juga menolak untuk berdamai dan meninggalkan permusuhan dengan Rezim Zionis.

“Sikap ini dilandasi dua dalil historis. Pertama, bangsa Suriah memandang isu Palestina sebagai bagian dari poros nasionalisme mereka. Kedua, wacana resmi bangsa Suriah tidak mengizinkan mereka untuk berpaling dari hak-hak bangsa Arab, kendati butuh waktu lama untuk memperjuangkannya.”

Oleh karena itu, di masa terjalinnya kesepakatan normalisasi pada dekade 70 dan 90 silam, dunia sudah menyaksikan penentangan luas rakyat Suriah, bahkan sebelum Damaskus menyatakan penolakan resminya.

Kesejahteraan sebagai Imbalan Normalisasi

Al-Mayadeen menulis, dengan terseretnya negara Suriah ke krisis destruktif, yang hingga kini belum berakhir, tekanan atas opini publik untuk mengubah sikap mereka terhadap Israel dan normalisasi dengan Tel Aviv kian meningkat. Propaganda yang disebarkan adalah bahwa keberadaan Rezim Zionis di Kawasan adalah “sebuah fakta yang tak bisa diubah.” Sebab itu, negara-negara Arab mesti menjalin hubungan dengan Tel Aviv.

Sebagian media pun mulai menyiapkan lahan bagi terwujudnya normalisasi dengan Israel di masa depan. Sejumlah petinggi kelompok oposisi Suriah bahkan mengirim pesan-pesan dan mengutarakan minat untuk berdamai (dengan Israel) serta memutus hubungan dengan Iran dan Hizbullah.

Sebagian dari mereka bahkan pergi ke Tel Aviv dan bertemu langsung dengan para pejabat Israel. Foto-foto yang menunjukkan para teroris Suriah dirawat di rumah-rumah sakit Israel masih bisa disaksikan di berbagai media.

Di lain pihak, Rezim Zionis pun memberikan berbagai dukungan kepada kelompok-kelompok teroris, terutama di sekitar Golan. Salah satunya adalah perawatan di Israel bagi para teroris yang terluka. Di saat bersamaan, Israel melancarkan serangan udara dan rudal ke wilayah Suriah, dengan dalih untuk menghadapi Iran dan Hizbullah. Dosen Ilmu Politik di Universitas Damaskus, Jamal al-Mahmud mengatakan, Israel sejak awal tahun 2021 hingga 17 November telah melancarkan 30 serangan ke Suriah.

Menurut al-Mayadeen, dengan semua kejadian ini, normalisasi, bahkan “perdamaian sepihak”, dengan Israel di masa-masa krisis yang mendera rakyat Suriah dianggap sebagai “langkah buruk dari setan.” Orang-orang Suriah bahkan tidak sudi untuk membahasnya. Sikap mereka tidak berubah meski blokade ekonomi Barat kian mengetat sejak awal 2019 dan pemberlakuan UU Caesar sejak pertengahan 2020 semakin menambah derita rakyat Suriah.

Jamal al-Mahmud berpendapat, meski rakyat Suriah dihimpit krisis ekonomi, namun proyek normalisasi terlihat sebagai “proyek yang bodoh.” Sebab, kata al-Mahmud, kondisi Suriah tidak sama seperti negara-negara Arab pelaku normalisasi.

Alasannya, sebagian dari wilayah Suriah masih diduduki Israel. Kedua, dari sisi historis Palestina adalah bagian selatan dari Suriah. Di pihak lain, AS dan Israel juga tidak benar-benar serius untuk menghentikan perang terhadap Pemerintah Suriah. Atas dasar ini, al-Mahmud berpendapat bahwa mustahil Suriah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.

“Sulit dibayangkan bahwa Suriah menormalisasi hubungan dengan penjajah yang menduduki tanah kami dan menelantarkan rakyat kami. Bahkan jika Golan dikembalikan ke Suriah sekalipun, siapa yang akan mengembalikan para pembesar dan syuhada kami? Siapa yang akan mengganti tahun-tahun yang telah dihabiskan untuk ini? Ini adalah hal yang telah menghabiskan begitu banyak dari energi dan potensi kami,”tandas al-Mahmud. (HRY)

captcha